Minggu, 17 Februari 2013

Menjadi Pribadi Pema'af

Apa yang terbersit di hati kita ketika ada orang yang menzalimi diri kita? Secara naluri kita akan marah dan akan berusaha untuk membalas kezaliman itu. Bahkan ada yang suka membalas kezaliman itu dengan berlebihan. Tentu sikap ini apabila tidak segera dipangkas akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. 



Bagi kehidupan pribadi, seseorang yang memiliki sikap ini akan gelisah hatinya dan terkuras energinya karena memikirkan bagaimana ambisi untuk balas dendam itu terpuaskan. Adapun bagi kehidupan bermasyarakat, sikap ini akan menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan hingga memakan korban baik harta maupun jiwa. 


Agar kehidupan ini tenang dan tentram, maka sikap yang hanya ingin memperturutkan nafsu dendam harus diganti dengan sikap mulia yang diajarkan Islam yaitu sikap memaafkan. Jika masing-masing pihak atau salah satunya memiliki sikap ini, maka konflik yang terjadi akan reda hingga berakhir tanpa ada benih-benih dendam lagi.

Untuk menjadi pribadi yang pemaaf memang tidak mudah. Apalagi jika luka di hati telah terlanjur menganga. Dalam kondisi seperti ini kadang yang muncul justru perasaan dendam dan berharap kejelekan terhadap orang yang telah melukai fisik dan hati. Sehingga jangankan mendoakan kebaikan, memaafkan kesalahannya saja masih sangat berat.

Keengganan untuk memberi maaf akan menguat manakala kesempatan untuk menuntut balas terhampar luas di hadapan. Ditambah lagi jika status sosial orang yang berbuat salah itu berada jauh di bawah kita. Jika hati tidak ada benteng iman, bisa-bisa ambisi nafsu untuk balas dendam akan menjelma menjadi tindakan nyata.

Untuk bisa memaafkan orang yang telah berbuat zalim kepada kita butuh kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Jika seseorang mampu memberi maaf meski dia berada pada pihak yang benar dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada orang yang telah berbuat jahat kepadanya, maka itulah tanda kemuliaan dan ketakwaan dirinya. Satu di antara tanda orang bertakwa adalah tidak berat untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Sikap mulia inilah yang dicontohkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq, saat beliau marah kepada Misthah bin Utsatsah yang ikut-ikutan menyebar fitnah bahwa ‘Aisyah binti Abu Bakr Radhiallahu ‘anhuma  telah berselingkuh, Misthah ikut serta menyebarkan fitnah tersebut. Sehingga ketika turun ayat yang menjelaskan bahwa tuduhan itu merupakan berita bohong, Abu Bakar marah kepada Misthah serta bersumpah tidak akan berbuat baik dan memberi bantuan nafkah lagi kepadanya

Apa yang terbersit di hati kita ketika ada orang yang menzalimi diri kita? Secara naluri kita akan marah dan akan berusaha untuk membalas kezaliman itu. Bahkan ada yang suka membalas kezaliman itu dengan berlebihan. Tentu sikap ini apabila tidak segera dipangkas akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. 

Bagi kehidupan pribadi, seseorang yang memiliki sikap ini akan gelisah hatinya dan terkuras energinya karena memikirkan bagaimana ambisi untuk balas dendam itu terpuaskan. Adapun bagi kehidupan bermasyarakat, sikap ini akan menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan hingga memakan korban baik harta maupun jiwa. 

Agar kehidupan ini tenang dan tentram, maka sikap yang hanya ingin memperturutkan nafsu dendam harus diganti dengan sikap mulia yang diajarkan Islam yaitu sikap memaafkan. Jika masing-masing pihak atau salah satunya memiliki sikap ini, maka konflik yang terjadi akan reda hingga berakhir tanpa ada benih-benih dendam lagi.

Namun rupanya Allah tidak menyukai sikap Abu Bakar tersebut. Dia kemudian memberikan teguran kepada Abu Bakr dan siapa saja yang bersumpah bahwa dia tidak akan berbuat baik kepada orang lain. Teguran itu Allah sampaikan melalui Rasulullah SAW. 

Allah berfirman: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: an-Nuur:  22).

Melalui ayat ini Allah juga memerintahkan kepada hamba-Nya  agar memberikan maaf dan kelonggaran serta tetap memberikan nafkah kepada orang yang biasa dia bantu untuk melanggengkan kebaikan dan silaturahim.  Setelah Abu Bakar mendengar ayat tersebut beliau berkata, “Benar, demi Allah aku senang bila Allah mengampuni dosa-dosaku dan aku akan memberi nafkah kepada Misthah lagi.” Beliau melanjutkan, “Demi Allah, aku tidak akan membiarkannya terlantar sama sekali.” (lihat Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam, XII,207 dan Mukhtashar Ibnu Katsir, II, 593).

Atas petunjuk dari Allah, dia lebih memilih memaafkan anak bibinya dengan tulus daripada membalas kejahatannya meski dia berada pada pihak yang benar dan juga  mampu untuk melakukan pembalasan karena status sosial jauh lebih tinggi daripada anak bibinya itu. Akhlaq mulia yang dimiliki Abu Bakar ini patut kita teladani dan kita tumbuh-suburkan dalam pribadi kita. (disunting dari Hidayatullah.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar