Apa yang terbersit di hati kita ketika ada orang yang menzalimi diri kita? Secara naluri kita akan marah dan akan berusaha untuk membalas kezaliman itu. Bahkan ada yang suka membalas kezaliman itu dengan berlebihan. Tentu sikap ini apabila tidak segera dipangkas akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Bagi kehidupan pribadi, seseorang yang memiliki sikap ini akan gelisah hatinya dan terkuras energinya karena memikirkan bagaimana ambisi untuk balas dendam itu terpuaskan. Adapun bagi kehidupan bermasyarakat, sikap ini akan menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan hingga memakan korban baik harta maupun jiwa.
Agar kehidupan ini tenang dan tentram, maka sikap yang hanya ingin memperturutkan nafsu dendam harus diganti dengan sikap mulia yang diajarkan Islam yaitu sikap memaafkan. Jika masing-masing pihak atau salah satunya memiliki sikap ini, maka konflik yang terjadi akan reda hingga berakhir tanpa ada benih-benih dendam lagi.
Untuk
menjadi pribadi yang pemaaf memang tidak mudah. Apalagi jika luka di hati telah
terlanjur menganga. Dalam kondisi seperti ini kadang yang muncul justru
perasaan dendam dan berharap kejelekan terhadap orang yang telah melukai fisik
dan hati. Sehingga jangankan mendoakan kebaikan, memaafkan kesalahannya saja
masih sangat berat.
Keengganan
untuk memberi maaf akan menguat manakala kesempatan untuk menuntut balas
terhampar luas di hadapan. Ditambah lagi jika status sosial orang yang berbuat
salah itu berada jauh di bawah kita. Jika hati tidak ada benteng iman,
bisa-bisa ambisi nafsu untuk balas dendam akan menjelma menjadi tindakan nyata.
Untuk bisa memaafkan
orang yang telah berbuat zalim kepada kita butuh kebesaran jiwa dan kelapangan
hati. Jika seseorang mampu memberi maaf meski dia berada pada pihak yang benar
dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada orang yang telah berbuat
jahat kepadanya, maka itulah tanda kemuliaan dan ketakwaan dirinya. Satu di
antara tanda orang bertakwa adalah tidak berat untuk memaafkan kesalahan orang
lain.
Sikap
mulia inilah yang dicontohkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq, saat beliau marah
kepada Misthah bin Utsatsah yang ikut-ikutan menyebar fitnah bahwa ‘Aisyah
binti Abu Bakr Radhiallahu ‘anhuma telah berselingkuh, Misthah ikut serta
menyebarkan fitnah tersebut. Sehingga ketika turun ayat yang menjelaskan bahwa
tuduhan itu merupakan berita bohong, Abu Bakar marah kepada Misthah serta
bersumpah tidak akan berbuat baik dan memberi bantuan nafkah lagi kepadanya.
Apa yang terbersit di hati kita ketika ada orang yang menzalimi diri kita? Secara naluri kita akan marah dan akan berusaha untuk membalas kezaliman itu. Bahkan ada yang suka membalas kezaliman itu dengan berlebihan. Tentu sikap ini apabila tidak segera dipangkas akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Bagi kehidupan pribadi, seseorang yang memiliki sikap ini akan gelisah hatinya dan terkuras energinya karena memikirkan bagaimana ambisi untuk balas dendam itu terpuaskan. Adapun bagi kehidupan bermasyarakat, sikap ini akan menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan hingga memakan korban baik harta maupun jiwa.
Agar kehidupan ini tenang dan tentram, maka sikap yang hanya ingin memperturutkan nafsu dendam harus diganti dengan sikap mulia yang diajarkan Islam yaitu sikap memaafkan. Jika masing-masing pihak atau salah satunya memiliki sikap ini, maka konflik yang terjadi akan reda hingga berakhir tanpa ada benih-benih dendam lagi.
Namun
rupanya Allah tidak menyukai sikap Abu Bakar tersebut. Dia kemudian memberikan
teguran kepada Abu Bakr dan siapa saja yang bersumpah bahwa dia tidak akan
berbuat baik kepada orang lain. Teguran itu Allah sampaikan melalui Rasulullah
SAW.
Allah berfirman: “Dan
janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat
(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah,
dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: an-Nuur: 22).
Melalui
ayat ini Allah juga memerintahkan kepada hamba-Nya agar memberikan maaf
dan kelonggaran serta tetap memberikan nafkah kepada orang yang biasa dia bantu
untuk melanggengkan kebaikan dan silaturahim. Setelah
Abu Bakar mendengar ayat tersebut beliau berkata, “Benar, demi Allah aku senang
bila Allah mengampuni dosa-dosaku dan aku akan memberi nafkah kepada Misthah
lagi.” Beliau melanjutkan, “Demi Allah, aku tidak akan membiarkannya terlantar
sama sekali.” (lihat Al-Qurthubi, Al-Jami’
Al-Ahkam, XII,207 dan Mukhtashar
Ibnu Katsir, II, 593).
Atas
petunjuk dari Allah, dia lebih memilih memaafkan anak bibinya dengan tulus
daripada membalas kejahatannya meski dia berada pada pihak yang benar dan
juga mampu untuk melakukan pembalasan karena status sosial jauh lebih
tinggi daripada anak bibinya itu. Akhlaq mulia yang dimiliki Abu Bakar ini
patut kita teladani dan kita tumbuh-suburkan dalam pribadi kita. (disunting dari Hidayatullah.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar